POS RAKYAT – Komisioner Pengkajian dan Penelitian Sandrayati Moniaga pada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI memberikan lima rekomendasi dalam Rancangan Undang-undang (RUU) Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) Perubahan.
“Komnas HAM RI menerima 108 pengaduan terkait UU ITE sepanjang 2016-2021. Penerapan UU ITE menimbulkan berbagai bentuk pelanggaran hak berekspresi sejak disahkan pada 2008,” kata Sandrayati dalam rilisnya, Kamis 28 Juli 2022.
Berdasarkan kewenangan yang diatur dalam Pasal 89 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM melakukan pengkajian secara materiil maupun formil atas RUU perubahan ITE.
“Berdasarkan hasil kajian dan penelitian, Komnas HAM kali ini menyimpulkan bahwa RUU perubahan tentang ITE masih berorientasi pada pengekangan hak kebebasan berekspresi(interference oriented) dan belum berorientasi perlindungan hak kebebasan berekspresi (protection oriented),” tegas Sandrayati.
Melihat hal itu, Komnas HAM merekomendasikan Pemerintah RI dan DPR RI untuk mengkaji ulang RUU Perubahan Kedua UU ITE. RUU Perubahan Kedua UU ITE perlu menggeser orientasi dari pengekangan hak kebebasan berekspresi ke orientasi perlindungan hak kebebasan berekspresi.
“Rekomendasi itu antara lain, memasukkan “asas non diskriminasi” sebagai asas penting di dalam RUU ITE. Pembentuk RUU ITE perlu mencantumkan pasal khusus tentang “pembatasan yang sah dan proporsional” agar menjadi dasar bagi penegak hukum dalam menyikapi sejauh mana laporan atas suatu kasus memenuhi kriteria sebagai suatu tindak pidana ataukah bukan,” ujar Sandrayati dalam rilis tersebut.
Menghapuskan rumusan pasal tentang pencemaran nama baik dalam RUU ITE karenaberpotensi membatasi hak kebebasan berekspresi secara berlebihan (over limitation).
Jika pasal tentang pencemaran nama baik di dalam RUU ITE dapat dipertahankan, ungkap Sandrayati, namun definisi atau unsur pencemaran nama baik harus diuraikan secara jelas, baik dari unsur subyektif, obyektif, maupun akibat yang ditimbulkan.
“Selain itu, perkara ini tidak lagi dimasukkan sebagai tindak pidana dengan ancaman sanksi pidana, melainkan dimasukan ke dalam perbuatan melawan
hukum dengan pertanggungjawaban hukum yang bersifat keperdataan, seperti permintaan maaf, ganti rugi atau kompensasi kepada yang dirugikan,” terangnya.
Sandrayati melanjutkan, Pemerintah dan DPR harus memperbaiki rumusan Pasal 40 ayat (2b) dengan menekankan bahwa lembaga yang diberikan kewenangan untuk melakukan internet shutdown adalah lembaga independen.
“Lembaga itu memiliki kewajiban memberikan informasi kepada publik mengenai alasan pemutusan jaringan internet baik mengenai lamanya waktu pemutusan, jangkauan wilayah yang diputus, serta dasar dan pertimbangan hukum dari kebijakan pemutusan tersebut,” sambung Sandrayati.
Untuk itu, setiap pembatasan akses
internet harus diikuti oleh mekanisme pertanggungjawaban yang jelas sebagai bagian dari kewajiban negara dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia setiap warga negaranya,” lanjutnya.
Rekomendasi kelima, kata Sandra lagi, soal moratorium penerapan pasal-pasal bermasalah dari UU ITE untuk mencegah pelanggaran HAM sampai RUU ITE disahkan.
“Yang keenam adalah standar norma dan pengaturan Komnas HAM Nomor 5 Tentang Hak Atas Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi agar menjadi rujukan bagi pemerintah dan DPR dalam merumuskan kembali RUU ITE.