POSRAKYAT.ID – Anggota Komisi III DPR RI Heru Widodo menyebut, restorative justice merupakan salah satu upaya mengurangi kelebihan kapasitas lembaga pemasyarakatan (LP). Upaya yang digaungkan lewat Peraturan Jaksa Agung No 15 Tahun 2020 itu, harus digalakkan, agar over capacity dapat teratasi.
“Saya mendorong institusi penegakan hukum agar dapat memberikan restorative justice (RJ), kepada pemakai narkoba. Ditekankan kembali bahwa yang bisa mendapatkan (RJ), dalam konteks pengguna narkotika hanya khusus pemakai saja yang rujukanya adalah rehabilitasi,” kata Heru, ditulis Kamis 13 Oktober 2022.
Hal itu diungkap Heru, saat melakukan pertemuan bersama Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), serta Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Sulsel).
Dari data Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Kemenkumham Sulses, ujar Heru, total Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) per 5 oktober 2022, sebanyak 10.649 orang, padahal total kapasitas penghuni hanya 6.145 orang. Penghuni terbanyak yakni dalam kasus narkotika.
“Melalui proses assessment, bisa dilihat dari kehidupan sosialnya, keluarga, maupun latar belakang. Setelah dilakukan semua tahapannya, baru adanya pertimbangkan khusus untuk kasus tersebut apakah bisa di rehabilitasi,” ucap Politisi PKB itu.
Keputusan tersebut diberikan melalui tahap selektif, objektif, serta teliti apakah nantinya pemakai berhak diberikan (RJ). Semua ada proses,” sambung Heru.
Menurutnya, RJ bisa menjadi salah satu solusi menekan angka kelebihan kapasitas tersebut.
“Dengan demikian institusi penegakan hukum, harus teliti apakah orang tersebut masuk dalam kategori sebagai pengguna, ataukah sebagai pengedar atau bandar,” terang Heru.
Tentunya dalam assesment-nya bisa dibedakan jika pengedar atau bandar tindakanya adalah pidana dan tidak bisa sebagai (RJ),” jelasnya lagi.
Seperti diketahui, RJ, bisa digunakan untuk kasus-kasus yang sebetulnya sifatnya ringan, hukuman dibawah lima tahun serta jumlah kerugian tidak besar.
Konsep restorative justice ini adalah, penyelesaian sebuah perkara tanpa melalui sebuah proses persidangan, lebih mengedepankan pada dialog, musyawarah dan pengambilan solusi melalui perdamaian.
Senada, Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulsel Febrytrianto menjelaskan, dalam RJ diatur syarat-syarat dalam pemberian.
Antara lain, lanjut Febrytrianto, tersangka baru satu kali melakukan tindak pidana, ancaman hukuman lima tahun kebawah, selain itu juga jika itu persoalan penganiayaan harus ada perdamaian antara kedua belah pihak tanpa syarat.
Kemudian kerugian tidak terlalu besar, itu adalah salah satu syarat formil yang harus dipenuhi.
“Jadi itu perkara-perkara yang diserahkan oleh polisi, kejaksaan, terus dilakukan perdamaian. Jika semua terpenuhi, maka perkara itu bisa dihentikan penuntutannya jadi SKP2 (Surat ketetapan Penghentian Penuntutan),” ungkap Febry.
Untuk menghentikan perkara itu, dari kejaksaan negeri (Kejari) harus mendapat persetujuan dari Kejati. Kemudian Kejati dengan Kejari ekspos pidana umum untuk mendapatkan kepastian itu disetujui atau tidak, jadi prosedurnya begitu panjang dilakukan,” tandasnya.