Jumat, Oktober 17, 2025

Hukum Administrasi Bukan untuk Rakyat, Tapi untuk Mereka yang Tak Pernah Perlu Memohon

Hukum administrasi tidak pernah netral. Ia lahir dari ruang kekuasaan, dirancang oleh tangan yang tak pernah kotor oleh debu antrean di kantor kelurahan, dan diuji bukan oleh rakyat kecil, melainkan oleh sistem yang hanya mengukur kelancaran, bukan keadilan.

Klaim bahwa hukum administrasi berlaku sama untuk semua, adalah dusta struktural yang dipelihara, agar ketimpangan terasa wajar. Kenyataannya, sistem ini bekerja dengan sempurna justru karena ia membedakan, melancarkan jalan bagi yang punya akses, sementara menghukum yang tak punya suara dengan labirin prosedur yang tak berujung. Rakyat bukan pengguna utama hukum administrasi, mereka adalah objek pengelolaan, bukan subjek yang dilayani.

Akses terhadap hak administratif ditentukan bukan oleh kebutuhan, melainkan oleh kemampuan membaca bahasa birokrasi, yang sengaja dibuat asing. Formulir, jargon teknis, tenggat waktu ketat, dan persyaratan berlapis, bukan alat untuk kepastian hukum, melainkan mekanisme penyaring sosial.

Mereka yang buta huruf hukum, yang tak punya uang untuk konsultan, atau tinggal di daerah terpencil, otomatis dikucilkan. Bukan karena mereka salah, tapi karena sistem tidak pernah dirancang untuk mereka. Sementara, elite korporat dan pejabat mendapat jalur khusus, percepatan izin, dan fleksibilitas diskresi yang tak pernah dinikmati rakyat biasa. Inilah wajah sebenarnya dari hukum administrasi, bukan alat pemerataan, melainkan alat reproduksi ketidakadilan.

Baca Juga :  Klarifikasi Pemberitaan, Asuransi Multi Artha Guna Angkat Bicara

Bahasa hukum administrasi adalah bahasa eksklusi. Ia tidak berbicara dalam logika kemanusiaan, tapi dalam logika dokumen. Seorang nenek yang tinggal di tanah warisan selama tujuh generasi, dianggap ‘tidak berhak’ hanya karena tak punya sertifikat. Sementara perusahaan asing, bisa menguasai ribuan hektar lahan dengan surat izin yang dikeluarkan dalam hitungan minggu.

Tidak ada pelanggaran hukum di sini, karena hukum itu sendiri yang menciptakan ketimpangan itu. Yang miskin disalahkan karena ‘tidak mengurus administrasi’, padahal negara tak pernah hadir untuk menjelaskan, membimbing, atau mendampingi. Sementara yang berkuasa, tak perlu repot karena sistem sudah tunduk pada kepentingannya sejak awal.

Partisipasi publik dalam proses administratif, hanyalah sandiwara demokrasi. Konsultasi publik sering dilakukan setelah keputusan diambil, forum diadakan di tempat yang sulit dijangkau, dan masukan warga diabaikan dengan dalih ‘tidak sesuai kebijakan teknis’.

Baca Juga :  Syamsul Hariyanto: Soal Gereja AMIN, Mari Duduk Bersama

Hukum administrasi tidak memberi ruang bagi suara rakyat, ia hanya memberi ilusi, bahwa suara itu didengar. Yang benar-benar menentukan adalah logika investasi, stabilitas politik, dan kepentingan birokrasi internal. Rakyat hanya diajak bicara, ketika kehadiran mereka dibutuhkan untuk memenuhi syarat formal, bukan untuk mengubah arah kebijakan.

Hukum administrasi hari ini bukan penjaga negara hukum, melainkan penjaga status quo. Ia melindungi sistem dari gangguan empati, dari tuntutan keadilan substantif, dan dari keberanian mengakui bahwa aturan bisa salah. Selama hukum administrasi lebih cepat merespons permohonan korporasi daripada jeritan warga yang kehilangan air bersih akibat pencemaran, selama KTP lebih sulit didapat daripada izin reklamasi, dan selama ‘kesalahan sistem’ selalu menjadi beban rakyat, maka jelaslah siapa yang dilayani oleh hukum ini. Bukan rakyat. Bukan yang lemah. Bukan yang memohon. Tapi mereka yang tak perlu memohon, karena kekuasaan sudah menunggu di ujung meja, siap menandatangani apa pun yang mereka inginkan.

Artikel di atas merupakan opini dari Penulis: Alivya Azzahra, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang (Unpam) Semester III.

Iklan - Scroll kebawah untuk melanjutkanspot_img
RELATED ARTICLES

Populer